Rabu, 24 Oktober 2018

Tasawuf Kultural dalam Harmoni Sintong

Oleh Faiqul Khair Al-Kudus*
Minggu, 01 Oct 2017 21:03 | editor : Abdul Basri

SENI DAN RELIGI: Penampilan Tarian Sintong dalam acara perkumpulan rutin di Pacinan, Ambunten, 27 September 2017. (FAIQUL KHAIR AL-KUDUS FOR Radar Madura/JawaPos.com)
Berita Terkait
 
”Seni merupakan hasil keindahan sehingga dapat menggerakkan perasaan indah orang yang melihatnya. Oleh karena itu, perbuatan manusia yang dapat memengaruhi dan dapat menimbulkan perasaan indah itulah seni.” Ki Hadjar Dewantoro
                    SINTONG adalah sebuah kesenian kuno yang berkembang di kalangan kaum pinggiran Sumenep. Banyak yang belum tahu apa itu sintong. Banyak versi tentang cerita asal usul tarian ini.
Sintong terdiri dari alat musik jidor, kendang, toktok (alat musik dari kulit biji siwalan) dan pembaca lirik serta penari. Dari susunan nada pada beberapa fragmen sintong akan berurut dari irama rendah sampai puncak. Kemudian turun lagi sampai penutup salawat.
Selain tangga nada dan bacaan yang magis, kunci-kunci pada tarian sintong penuh dengan sandi-sandi yang hanya dikenal pada tradisi thariqah. Sedangkan bacaan sintong adalah barzanji kitab Syaraful Anam. Menurut cerita, dari ranah Minang hingga Riau, bacaan barzanji masih berkembang hingga saat ini dan menyerupai komposisi sintong Madura.
                    Namun, di daerah Riau ada sebuah kerajaan bernama Sintong. Kerajaan Sintong berada di hulu Sungai Sintong. Kira-kira satu kilometer dari muara Sungai Sintong, anak Sungai Rokan. Tidak banyak catatan tentang kerajaan ini, selain cerita-cerita lisan setempat (folklore).
Ada sebuah situs yang penting dari kerajaan ini. Yaitu, berupa candi yang pernah diteliti tim arkeologi Dinas Budsenipar Riau (catatan sultan Indonesia). Bisa saja, nama Sintong diambil dari salah satu kesenian di kerajaan tersebut.
                     Versi lain menyatakan kesenian sintong dibawa oleh Sunan Muria (penuturan Asmawi). Namun ini belum pasti juga karena dalam kalangan sunan, Muria dikenal dengan sosok yang sangat anti terhadap musik. Yang mendekati Muria dan ikut mengembangkan dan mengombinasikan musik dalam berdakwah adalah Sunan Kudus.
Yang kedua, lebih mungkin, karena keturunan Sunan Kudus justru paling banyak menyebar di Madura, khususnya Sumenep. Salah satunya adalah Syekh Ahmad Baidhowi atau Pangeran Katandur yang dikenal dengan kesenian dan penemuan alat-alat pertanian. Kemudian ada Syekh Ali Barambang yang dikenal dengan dakwah seni dan pengajaran dalam dunia pemerintahan. Tentu saja Pondok Karay dan Prongpong.
Cerita lain, kesenian sintong diambil dan dibawa ke Sumenep oleh seorang penduduk Kampung Prongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk, antara abad ke 17–18 M yang menjelajah Aceh, Minang hingga Riau dalam rangka persiapan perang. Setelah pulang ke Prongpong mengajarkan hal itu hingga menjadi tembang rutin yang terus berkembang seperti saman dan sandur.
Berbeda dengan cerita yang dituturkan Asmawi, ada yang menyatakan seni sintong diajarkan terlebih dahulu di Pondok Pesantren Karay Ganding. Namun Karay dan Prongpong masih berada dalam satu ikatan darah yang kehidupan masyarakat serupa, yaitu tasawuf sebagai roh dalam kehidupan sehari-harinya, wallahu a’lam.
                 Bagaimana kemudian tarian sintong menjadi tradisi lelaku rutinitas masyarakat Madura? Ini yang perlu dikaji. Kesenian adalah bentuk ekspresi keindahan dari relung terdalam jiwa manusia. Sedang kemunculannya ditopang budaya, sosio-kultural sekelilingnya.
Membaca seni, dalam hal ini tidak cukup hanya dengan rasio pikiran saja. Harus menggunakan olah rasa dan olah pikir dan kajian historis. Saya masih meyakini semua ini berkait dengan konsep Nusantara kuno yakni Malaka (sarana infrastruktur) meliputi Sumatera hingga Malaysia, Maliki (pemerintahan) meliputi Jawa dan Madura, Maluku (hasil bumi) meliputi Tidore-Ternate hingga Papua yang merupakan segitiga emas sehingga kesenian yang berbau sufistik (tasawuf) berkembang pesat dan hampir saling menyerupai satu sama lain.
Berdasar penuturan Kiai Suhail bin Imam dalam sebuah kesempatan, sintong, ba’garbis (kesenian khas Madura yang lain), dan hadrah dulu hanya sebagai media mengenalkan Tuhan kepada masyarakat. Sebagaimana dilakukan para wali pendahulu. Itu semua karena masyarakat kultur agraris yang tandus dan nelayan dengan pola kehidupan yang keras hanya bisa tergugah untuk mengenal Tuhan dengan tetabuhan atau kesenian. Pendapat ini sangat masuk akal, sebab isi tembang sintong adalah pujian-pujian (pojiyan) dan jerit rintihan hamba kepada Tuhannya.
              Belum lagi kekhasan lagu wajib yang didendangkan. Yakni Lailatul Iqni yang menceritakan Tuhan menurunkan rahmat, menurunkan kekasih pada malam cahaya. Kisah tentang kelahiran anak manusia Nabi Muhammad SAW yang begitu mulia. Hingga tumbuhan yang kering (mati) menjadi hidup, pohon yang tidak pernah berbuah menjadi berbuah. Ini masuk pada harapan dan doa agar kiranya Tuhan menurunkan rahmat tanah yang subur, hasil panen, dan melaut yang melimpah.
Tidak salah jika sintong dikatakan sebagai sebuah thariqah cultural, jalan pencarian manusia menuju Tuhannya. Dalam sebuah lirik akhir sebelum salawat penutup, terdapat lirik syair sintong... wang awang sittong yang artinya menurut pelaku adalah bagaimana dirimu menyatu dengan yang satu alias manunggaling kawulo lan gusti sebagaimana di kalangan wali diajarkan Sunan Kudus dan Raden Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar.

              Ini jelas hanya kalangan tasawuf yang menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan-gerakan yang ada pun menyerupai gerak thariqah sammaniyah, rifa’iyah, dan qadariyah wan naqsyabandiyah. Jadi, jika dikaji lebih dalam, sintong adalah sebuah bentuk akulturasi thariqah dan budaya lokal sebagai sebuah ekspresi tasawuf kultural, namun tidak menjadi muktabarah (tidak dikenal atau umum) karena pengemasannya sudah menjadi sebuah ekspresi kesenian. Salam.
*)Pemuda Pemerhati Sintong
Source by: https://radarmadura.jawapos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Presiden Jokowi dan 120 Raja akan Hadiri FKMA ASEAN V Sumenep

Bupati saat prosesi Arya Wiraraja Sumenep, (Media Madura) – Bupati Sumenep, Madura, Jawa Timur, A. Busy...