Oleh Faiqul Khair Al-Kudus*
Minggu, 01 Oct 2017 21:03
| editor : Abdul Basri
SENI DAN RELIGI: Penampilan Tarian Sintong dalam acara perkumpulan rutin di Pacinan, Ambunten, 27 September 2017.
(FAIQUL KHAIR AL-KUDUS FOR Radar Madura/JawaPos.com)
”Seni merupakan hasil
keindahan sehingga dapat menggerakkan perasaan indah orang yang
melihatnya. Oleh karena itu, perbuatan manusia yang dapat memengaruhi
dan dapat menimbulkan perasaan indah itulah seni.” Ki Hadjar Dewantoro
SINTONG adalah sebuah kesenian kuno yang
berkembang di kalangan kaum pinggiran Sumenep. Banyak yang belum tahu
apa itu sintong. Banyak versi tentang cerita asal usul tarian ini.
Sintong terdiri dari alat musik jidor, kendang, toktok (alat
musik dari kulit biji siwalan) dan pembaca lirik serta penari. Dari
susunan nada pada beberapa fragmen sintong akan berurut dari irama
rendah sampai puncak. Kemudian turun lagi sampai penutup salawat.
Selain
tangga nada dan bacaan yang magis, kunci-kunci pada tarian sintong
penuh dengan sandi-sandi yang hanya dikenal pada tradisi thariqah.
Sedangkan bacaan sintong adalah
barzanji
kitab
Syaraful Anam. Menurut cerita, dari ranah Minang hingga Riau, bacaan
barzanji masih berkembang hingga saat ini dan menyerupai komposisi
sintong Madura.
Namun, di daerah Riau ada sebuah
kerajaan bernama Sintong. Kerajaan Sintong berada di hulu Sungai
Sintong. Kira-kira satu kilometer dari muara Sungai Sintong, anak Sungai
Rokan. Tidak banyak catatan tentang kerajaan ini, selain cerita-cerita
lisan setempat (folklore).
Ada sebuah situs yang penting dari
kerajaan ini. Yaitu, berupa candi yang pernah diteliti tim arkeologi
Dinas Budsenipar Riau (catatan sultan Indonesia). Bisa saja, nama
Sintong diambil dari salah satu kesenian di kerajaan tersebut.
Versi lain menyatakan kesenian
sintong dibawa oleh Sunan Muria (penuturan Asmawi). Namun ini belum
pasti juga karena dalam kalangan sunan, Muria dikenal dengan sosok yang
sangat anti terhadap musik. Yang mendekati Muria dan ikut mengembangkan
dan mengombinasikan musik dalam berdakwah adalah Sunan Kudus.
Yang kedua, lebih mungkin, karena
keturunan Sunan Kudus justru paling banyak menyebar di Madura, khususnya
Sumenep. Salah satunya adalah Syekh Ahmad Baidhowi atau Pangeran
Katandur yang dikenal dengan kesenian dan penemuan alat-alat
pertanian. Kemudian ada Syekh Ali Barambang yang dikenal dengan dakwah
seni dan pengajaran dalam dunia pemerintahan. Tentu saja Pondok Karay
dan Prongpong.
Cerita lain, kesenian sintong diambil
dan dibawa ke Sumenep oleh seorang penduduk Kampung Prongpong, Desa
Kecer, Kecamatan Dasuk, antara abad ke 17–18 M yang menjelajah Aceh,
Minang hingga Riau dalam rangka persiapan perang. Setelah pulang ke
Prongpong mengajarkan hal itu hingga menjadi tembang rutin yang terus
berkembang seperti saman dan sandur.
Berbeda dengan cerita yang dituturkan
Asmawi, ada yang menyatakan seni sintong diajarkan terlebih dahulu di
Pondok Pesantren Karay Ganding. Namun Karay dan Prongpong masih berada
dalam satu ikatan darah yang kehidupan masyarakat serupa, yaitu tasawuf
sebagai roh dalam kehidupan sehari-harinya, wallahu a’lam.
Bagaimana kemudian tarian sintong
menjadi tradisi lelaku rutinitas masyarakat Madura? Ini yang perlu
dikaji. Kesenian adalah bentuk ekspresi keindahan dari relung terdalam
jiwa manusia. Sedang kemunculannya ditopang budaya, sosio-kultural
sekelilingnya.
Membaca seni, dalam hal ini tidak
cukup hanya dengan rasio pikiran saja. Harus menggunakan olah rasa dan
olah pikir dan kajian historis. Saya masih meyakini semua ini berkait
dengan konsep Nusantara kuno yakni Malaka (sarana infrastruktur)
meliputi Sumatera hingga Malaysia, Maliki (pemerintahan) meliputi Jawa
dan Madura, Maluku (hasil bumi) meliputi Tidore-Ternate hingga Papua
yang merupakan segitiga emas sehingga kesenian yang berbau sufistik
(tasawuf) berkembang pesat dan hampir saling menyerupai satu sama lain.
Berdasar penuturan Kiai Suhail bin
Imam dalam sebuah kesempatan, sintong, ba’garbis (kesenian khas Madura
yang lain), dan hadrah dulu hanya sebagai media mengenalkan Tuhan kepada
masyarakat. Sebagaimana dilakukan para wali pendahulu. Itu semua karena
masyarakat kultur agraris yang tandus dan nelayan dengan pola kehidupan
yang keras hanya bisa tergugah untuk mengenal Tuhan dengan tetabuhan
atau kesenian. Pendapat ini sangat masuk akal, sebab isi tembang sintong
adalah pujian-pujian (pojiyan) dan jerit rintihan hamba kepada
Tuhannya.
Belum lagi kekhasan lagu wajib yang
didendangkan. Yakni Lailatul Iqni yang menceritakan Tuhan menurunkan
rahmat, menurunkan kekasih pada malam cahaya. Kisah tentang kelahiran
anak manusia Nabi Muhammad SAW yang begitu mulia. Hingga tumbuhan yang
kering (mati) menjadi hidup, pohon yang tidak pernah berbuah menjadi
berbuah. Ini masuk pada harapan dan doa agar kiranya Tuhan menurunkan
rahmat tanah yang subur, hasil panen, dan melaut yang melimpah.
Tidak salah jika sintong dikatakan
sebagai sebuah thariqah cultural, jalan pencarian manusia menuju
Tuhannya. Dalam sebuah lirik akhir sebelum salawat penutup, terdapat
lirik syair sintong... wang awang sittong yang artinya menurut pelaku
adalah bagaimana dirimu menyatu dengan yang satu alias manunggaling
kawulo lan gusti sebagaimana di kalangan wali diajarkan Sunan Kudus dan
Raden Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar.
Ini jelas hanya kalangan tasawuf yang
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan-gerakan yang ada pun
menyerupai gerak thariqah sammaniyah, rifa’iyah, dan qadariyah wan
naqsyabandiyah. Jadi, jika dikaji lebih dalam, sintong adalah sebuah
bentuk akulturasi thariqah dan budaya lokal sebagai sebuah ekspresi
tasawuf kultural, namun tidak menjadi muktabarah (tidak dikenal atau
umum) karena pengemasannya sudah menjadi sebuah ekspresi kesenian.
Salam.
*)Pemuda Pemerhati Sintong
Source by: https://radarmadura.jawapos.com